Friday, 21 September 2012

Sejarah Perdamaian Tumbang Anoi, Kahayan,Central Borneo

 Terjadinya perang antar suku Dayak Ngaju dari Kahayan, Kalimantan Tengah dengan suku Dayak Kenyah Mahakam, Kalimantan Timur sebagai akibat adanya kesalah fahaman yang titik akar permasalahannya adalah memperebutkan lokasi tempat berusaha pengambilan (memanen) getah Nyatu.
 Lokasi tempat usaha pengambilan getah Nyatu ini sehari harinya adalah tempat usaha memanen getah Nyatu oleh orang Dayak Ngaju Kahayan. Lokasi daerah tempat pengambilan getah Nyatu ini terletak di antara perbatasan wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur tepatnya di pegunungan Puruy Ayau dan Puruk Sandah. Di mana perang antar Suku Dayak ini semakin memanas di kedua belah pihak dengan cara saling kayau mengayau.


Sehingga terjadi peristiwa yang di kenal dengan nama Kayau 100 yang artinya : Telah terjadi pertempuran /perang di Tumbang Tuan sebelah Udik Tumbang Toyus di Sei Barito Hulu atau pertempuran di Datah Nalau, Kalimantan Timur.

Mengayau artinya: Memburu / mencari kepala manusia, biasanya mengayau di lakukan oleh satu orang sampai dengan tiga orang.Kalau pada waktu terjadinya perang jika pihak musuh kalah maka kepalanya akan di potong dan di ambil sebagai bukti bahwa salah satu dari kelompok tersebut menang perang.
 Penyerangan pertama kali di lakukan oleh Pihak suku Dayak Kenyah yang di pimpin oleh Panglima perang yang bernama:

 *Sangiang Hadurut
*Tingang Koai
 Daerah daerah yang menjadi sasaran serangan Kayau meliputi:
 *Kurun Tampang
*Sei Miri dan Sei Hamputung
 *Pajangei *Sei Beringei dan Sei Rungan dan lain lain

 Pada akhirnya Pihak suku Dayak Ngaju dari Kahayan mengadakan serangan balasan Kayau juga yang di pimpin oleh empat orang bersaudara kandung yang tergolong sebagai Panglima perang yaitu:

 *Undeng sebagai pimpinan perang
 *Teweng
*Batoe
*Beneng
 Keempat orang Panglima perang ini berasal dari Kampung Batu Nyiwuh atau kalau sekarang Wilayah Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Para Panglima yang gagah berani ini telah di pilih oleh seluruh warga Masyarakat Dayak Ngaju dari Kahayan dengan cara terlebih dulu melakukan ritual Menajah Antang.

Menajah Antang artinya: Memanggil roh halus dari alam gaib dengan ritual khusus yang jika datang akan berbentuk dalam wujud seperti burung elang Menajah Antang ini merupakan kebudayaan leluhur orang Dayak Kalimantan secara turun temurun dan yang bisa melaksanakan ritual ini hanya Orang Dayak yang mengerti tentang bahasa leluhur Dayak, bahasa Sangiang, bahasa Nahu dan menganut agama Kaharingan biasanya Menajah Antang di lakukan oleh : Basir, Pisur atau Tukang Tawur yang bisa berkomunikasi dengan alam gaib di Borneo.

 Menajah Antang atau Najah Antang biasanya di gunakan untuk berbagai keperluan yang penting ,salah satunya untuk meramal kesuksesan atau kegagalan sebelum berangkat perang. Pihak Dayak Ngaju dari Kahayan mengirim utusan Kayau kepada Pihak Dayak Kenyah di Kalimantan Timur dengan membawa tutuk bakaka yang berupa sababulu dengan Mandau yang artinya sebagai isyarat pemberitahuan akan di adakannya peperangan .

 Sababulu adalah sepotong bamboo yang di hiasi dan di tancapkan di tanah dengan di selipi pesan khusus bahwa Pihak Dayak Ngaju dari Kahayan siap untuk menanti kedatangan Kayau Kenyah di Tumbang Tuan sebelah udik Tumbang Topus di sei Barito Hulu untuk bertempur/ perang secara terbuka dan berhadap hadapan.

 Dalam melakukan serangan balasan ini Pihak Dayak Ngaju Kahayan mengirim pasukan sebanyak 200 (dua ratus) orang dengan menggunakan 8 (delapan) regeh ( sejenis perahu )yang terbuat dari kulit kayu yang di dempul memakai damar hutan (nyating dalam bahasa Dayak Ngaju ).

 Di pertempuran yang pertama Panglima Undeng dan pasukannya mengalami kekalahan dan mereka mundur menuju Desa Long Bagun. Sedangkan pada pertempuran yang kedua kalinya semua anak buah Panglima Undeng dan teman temannya tewas terbunuh sedangkan yang selamat dan hidup hanya para Panglimanya saja yaitu:
*Panglima Undeng
*Panglima Teweng
*Panglima Batoe
*Panglima Beneng

 Di pihak Dayak Kenyah juga mengalami hal yang sama pimpinan perang Sangiang Hadurut dan semua anggota pasukannya tewas terbunuh dalam perang terbuka secara berhadap hadapan tersebut , termasuk Tingang Koai yang bunuh diri karena merasa malu telah menjadi tawanan oleh pihak musuh.
 Kesimpulannya: Antara ke dua kubu yang sedang bertikai /berperang tidak ada yang menang atau kalah.

Perselisihan atau salah faham sering terjadi antar suku Dayak di Kalimantan yang berakhir dengan peristiwa berdarah atau perang Kayau, karena tidak adanya keseragaman ketentuan hukum adat untuk seluruh masyarakat suku Dayak di Kalimantan.

 Perang Kayau yang terjadi antar suku Dayak di pedalaman tersebut akhirnya di ketahui oleh pihak pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh Kalimantan Barat yang berusaha mencari solusi untuk menyelesaikan pertikaian tersebut dengan cara berusaha untuk menghentikan perang Kayau yang sedang terjadi dan berusaha untuk menetapkan keseragaman hukum adat untuk seluruh masyarakat suku Dayak di Kalimantan.

Tujuan di adakannya hukum adat ini sebagai pedoman kebersamaan untuk persatuan, pegangan serta penafsiran untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sewaktu waktu bisa saja terjadi. Damang Batoe di Tumbang Anoi dan Tamanggung Tendan di Pulau Puruk, Bukit Batu Desa Tumbang Manange atau Upon Batoe ( sekarang Kecamatan Tewah) ke dua orang tokoh masyarakat Dayak ini berinisiatif untuk melakukan pertemuan damai antara para pemimpin suku Dayak dari seluruh Kalimantan.

 Dan oleh Damang Batoe pertemuan besar Tokoh Tokoh masyarakat Dayak seluruh Kalimantan tersebut disanggupi untuk di laksanakan di rumah adat Betang milik Damang Batoe yang akhirnya di kenal dengan nama “Damai Tumbang Anoi”, tapi sayangnya sekarang rumah adat Betang milik Damang Batoe yang bersejarah ini hanya tinggal tiang tiangnya saja.

Maka di mulailah persiapan selama 3 (tiga) tahun untuk dapat terlaksananya pertemuan besar adat yang rencananya akan di hadiri oleh sekitar lebih kurang dari 600 (enam ratus) orang utusan dari seluruh daerah Kalimantan dan sekitar lebih dari 1000 (seribu) orang dan rapat akan di laksanakan selama tiga bulan yang tentu saja membutuh dana yang besar untuk konsumsi para tamu dan keperluan lainnya

. Untuk melaksanakan persiapan menyambut kedatang para utusan besar tersebut , maka Damang Batoe dan penduduk Tumbang Anoi :

* membuka ladang di beberapa bukit yang di tanami parey (padi), ubi kayu (jawaw) selama tiga tahun.
*Menyediakan sekitar kurang lebih 60 ekor kerbau.
*Menyediakan lebih dari 100 (seratus) ekor sapi.
 *Ratusan ekor babi dan ayam.

 setelah berakhir musim panen rapatpun dapat terlaksana dengan sukses di rumah adat Betang milik Damang Batoe selaku pengundang yang di hadiri oleh para Tokoh atau Pemimpin masyarakat suku Dayak dari seluruh Kalimantan.

Nama nama para utusan yang telah hadir di pertemuan Damai Tumbang Anoi ini adalah :

*Utusan tetap dari seluruh Kalimantan sebanyak 125 ( seratus dua puluh lima) orang.

*Utusan dari Kerajaan Banjar Kayu Tangi oleh Pangeran Hidayatullah di kirim utusan khusus sebanyak 3 (tiga) orang.

* Utusan dari Solo sebanyak 3 (tiga) orang.

*Para pemimpin dari seluruh suku Dayak Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, berjumlah sebanyak 60 (enam puluh ) orang :
1 (satu) orang dari masing masing suku terkecuali Brunai yang pada saat itu di berada di bawah jajahan Inggris.
*Utusan dari Kesultanan Kalimantan Barat yaitu Raden Mas Brata Kusuma Jaya.
 *Utusan dari pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Nanga Pinuh di hadiri oleh Controleur C.W.Aernout.

 Daptar nama nama utusan pemimpin dari daerah tertentu yaitu:

*Utusan dari Kalimantan Timur :

1.Ketua : Bang Cuk Lui ( suku Dayak Kenyah)

 2.Wakil Ketua : Bang Lawing
3.Anggota :
Taman Jajit.
 Taman Kuling
 Haji Burit ( utusan dari Kutai) Haji Bamin

*Utusan dari Tanah Siang :
1.Ketua : Tamanggung Anur Tiang ( Ayahanda dari Tamanggung Silam)
2.Pembantu : 2 (dua) Orang

*Utusan dari Kuala Kapuas :
 1.Ketua : Juragan Timbang
2.Peserta : Raden Yohanes
3. Damang Bahandang Balau

*Utusan dari Tuyun :
 Tamanggung Sandin

 *Utusan dari Batu Nyiwuh :
 a. Undeng
 b.Teweng
  c. Batoe
e. Beneng
 Keempat orang utusan ini tidak memiliki gelar keningratan atau hanya rakyat jelata biasa saja.

 Utusan dari Kuala Kurun :
 a.Tamanggung Panji
 b.Damang Suan
c.Langkahan

 *Utusan dari Hurung Bunut :
 a.Unjung
b.Singa Bungai

 *Utusan dari Bukit Rawi :
 a.Tamanggung Sura Jaya Pati (Lawak) mengirim wakilnya : cucunya yang bernama Luther Nuhan (Abdullah Nuhan).

 *Utusan dari Sei Rungan :

 a.Damang Singa dari Tumbang Malahoi

*Utusan dari Sei Manuhing :
 a.Damang Bakal dari Luwuk Tukau

*Utusan dari Pulau Petak :
a.Damang Anum Jayakersa

 *Utusan dari Muara Kuatan :
 a.Raden Huda Jaya Pati Rapat

Damai Tumbang Anoi di laksanakan pada tanggal 22 Mei s/d 24 July 1894 yang tertulis dalam buku sejarah Kabupaten Kuala Kapuas , sedangkan menurut masyarakat Tumbang Anoi rapat berlangsung pada tahun 1883 yang hampir bersamaan dengan meletusnya gunung Krakatau pada tahun 1883. Tetapi dalam buku sejarah Kalimantan Barat rapat Damai Tumbang Anoi pada tahun 1894

 Setelah rapat berakhir dengan sukses selama lebih kurang dari 3 (tiga) bulan yang menetapkan kesepakatan dalam 2 (dua) hal yaitu :

1.Menghentikan secara menyeluruh permusuhan /pertikaian antar suku atau kayau mengayau dan permusuhan dengan pihak pemerintah Hindia Belanda.

2.Menetapkan hukum adat yang berlaku sama untuk seluruh masyarakat suku Dayak di seluruh Kalimantan.


Catatan di bawah ini: Berkaitan dengan tulisan tersebut  di atas Tumbang Anoi, Damang Batu, Gunung Mas

Desa Tumbang Anoi pada tahun 1894.

 Tumbang Anoi adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia. Tumbang Anoi adalah tempat bersejarah bagi perjalanan masyarakat Dayak. Tumbang Anoi menjadi tempat rapat akbar untuk mengakhiri tradisi mengayau pada tahun 1894 Tumbang Anoi adalah salah satu pusat permukiman penduduk Suku Dayak Kadorih, salah satu subsuku Dayak Ot Danum di hulu Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah. Tumbang Anoi dihuni oleh 418 warga dari 116 keluarga Tumbang Anoi berjarak sekitar 300 kilometer arah utara Palangka Raya, ibu kota Kalimantan Tengah. Hingga saat ini, tempat itu masih harus ditempuh dengan perjalanan darat selama tujuh jam, dilanjutkan dengan menggunakan perahu motor menyusuri Sungai Kahayan ke arah hulu selama dua jam dari Tumbang Marikoi,Ibu kota Kecamatan Damang Batu



Google
WEB
Images
Local
Mobile Web (beta)